Rabu, 10 Maret 2010

MENANTANG HATI


Menangis, aku sangat gembira ketika nama dan nomor ujianku terpampang indah di atas koran yang sedang kutatap. Menjadi salah satu mahasiswa di Institut Perjuangan adalah impian terbesarku. Dan begitulah aku dengan kerja keras tapi dimudahkan oleh Tuhan, selalu mendapatkan apa yang aku inginkan. Hingga suatu saat…….

“Tara!”panggil seorang temanku.

“Hei, what’s up?”jawabku cepat seraya mengulurkan tanganku berharap di sambut juga oleh Brahma, seorang teman lelaki terdekatku. Sudah seperti saudara sendiri. Begitulah aku dan Brahma.

Dengan tanggap dia menyambut tanganku yang terulur ringan, “Hei, entar malem kamu ikut bedah buku di markas ‘gak?”ucapnya semangat, “Beriman Tanpa Rasa Takut by Irshad Manji lo….”lanjutnya lagi.

“Oia, untung kamu ingetin. Yups, aku pasti dateng dong….!”tandasku tak kalah semangat.

Begitulah aku dengan Brahma Negara, seorang laki-laki lumayan tampan, satu fakultas denganku. Meskipun kita berbeda jurusan, itu tidak menyurutkan persaudaraan yang telah dan sedang kita jalin. Menjadi partner in crime to each other, membuat kita semakin akrab. Sangat akrabnya hingga suatu hari Nina, pacar sekaligus belahan jiwa Brahma yang lain, mendatangiku guna melabrakku karena terlalu dekat dengan “cintanya”. Tanggapanku, hanya tertawa lebar dengan menunjukkan semua gigi yang kupunya.

“Nina, aku sama sekali ‘gak tertarik ma cowokmu. Kita berdua murni bersaudara. Dari awal kita kenalan, kita udah mendeklarasikan diri sebagai saudara. Kamu ini aya-aya wae… Ada-ada aja. Udah kamu tenang aja. Meskipun kamu buang si Brahma di pinggir jalan, ‘gak bakal aku pungut kok…”jawabku santai. “Kamu seharusnya percaya penuh ma Brahma. Dihatinya, ‘gak ada wanita lain selain kamu. Dia sayang banget ke kamu. Asal kamu tahu, saat ini, buat Brahma, kamu adalah the one and only. Kamu ‘gak perlu curiga ke dia. Banyak teman-temannya yang menentang hubungan kalian. Tapi, dia tetap bertahan dan tetap menggandengmu sebagai pasangannya. Kurang apa lagi?”lanjutku terus terang.

“Aku cuma ‘gak suka ya, kamu deket-deket ma Brahma. Mataku risih ngeliatnya. Awas kalau kamu berani ngedeketin Brahma lagi.”ancam gadis manis di bawah lindungan kerudung biru muda di atas kepalanya itu.

Nina pun melengos pergi. Tanpa salam, tanpa pamit. “Kayak jelangkung aja. Dateng ‘gak dijemput, pulang ‘gak dianter.”kataku dalam hati seraya tersenyum simpul.

Tanpa sedikitpun mengindahkan kejadian kemarin, aku bersama Brahma tetap melakoni segudang kegiatan yang memang rutin kita berdua lakukan. Menjadi pengurus dalam klub Readingholic, membuat aku dan Brahma sering berinteraksi. Bahkan lebih sering daripada interaksinya dengan kekasihnya sendiri, Nina.

Sebenarnya, bukanlah rahasia lagi bahwa Nina hanya menjadikan Brahma sebagai sopir yang akan dengan senang hati mengantarnya kemanapun dia mau. Tidak ada yang tidak tahu bahwa Nina hanya menjadikan Brahma sebagai alat meraih popularitas. Ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan sekaligus pemrakarsa Readingholic yang saat ini sedang berada di puncak. Brahma juara dua, tentu saja setelah aku, dalam lomba menulis cerpen mahasiswa tingkat provinsi. Siapa yang tak mengenal Brahma, mahasiswa jurusan Fisika yang tinggi semampai, berhidung mancung, berkulit putih, dan bermata coklat indah. Seakan seantero kampus mengelukan namanya. Sudah barang tentu menjadi kebanggaan bisa meraih hati sang Brahma. Tapi, hati Brahma sedang berkabut cinta. Dia tetap memilih Nina, gadis yang memang benar-benar manis wajahnya itu.

“Apa? Diabetes? Apa Nina mengetahui hal ini?”tanyaku terkaget hingga tanpa kusadari mataku tengah melotot pada sosok mempesona, Brahma.

“Nina sama sekali belum mengetahui hal ini. Kamu adalah orang pertama di samping kedua orang tuaku yang mengetahui hal ini.”ucap Brahma semakin lirih. “Aku takut Nina akan meninggalkanku jika dia mengetahui penyakitku ini.”

“Brahma, sadarlah! Jikapun Nina benar-benar mencintaimu, dia akan selalu berada di sampingmu apapun dan bagaimanapun keadaanmu. Ketahuilah sahabat sekaligus saudaraku, kamu berhak mendapat yang terbaik. I know that you will.”kataku menghiburnya. “Aku tahu ucapanku ini sangatlah klise. Tapi, coba kamu renungkan. Apa makna cinta sesungguhnya? Apa arti kebersamaan dalam perasaan sayang? Cinta itu tidak membutuhkan alasan. Cinta tidak membutuhkan kata apalagi pembuktian. Cinta akan selalu ada di hati kita. Dan cinta itu juga yang akan memilih kepada siapa dia diberikan. Percayalah, kejujuran adalah yang terbaik. Sepandai apapun kamu menyimpan bangkai, akhirnya pasti akan tercium juga.”lanjutku lagi.

“Oke, aku akan bilang ke Nina tentang hal ini. Tapi, apa kamu masih tetap mau jadi teman, sahabat bahkan saudaraku, seorang penderita diabetes taraf lanjut?”tanya Brahma seraya menundukkan kedua kepalanya di hadapanku.

“Ya Tuhan, Brahma, aku sayang ke kamu tulus. Benar-benar tulus. Aku sama sekali ‘gak peduli ma penyakitmu. Apapun yang terjadi, kamu tetaplah Porthosku.”ucapku sambil memeluknya erat hingga tak terasa airmataku menetes perlahan di atas pundaknya.

“Athosku, terima kasih. Kamu jangan ninggalin aku karena hal ini ya!”pintanya lembut, dan akupun mengiyakan hanya dengan anggukan. Tak kuasa mengucapkan sepatah katapun.

***
Seperti yang sudah aku duga sebelumnya, Nina saat ini menggandeng lelaki tampan yang lain. Deva, mahasiswa teknik yang juga merupakan salah satu icon besar di fakultasnya.

Dan disinilah aku, bersama Brahma di ruangan serba putih. Rumah Sakit Harapan menjadi tempat kami menghabiskan sebagian besar waktu kami berdua. Brahma yang kini ringkih, berbaring tak berdaya di atas tempat tidur berkain hijau muda cerah, pertanda harapan hidup. Dengan menggenggam kedua tanganku, Brahma berucap,”Bagaimana bisa selama ini mataku tertutup akan cinta sejati yang begitu dekat. Bagaimana bisa aku mengabaikan cinta tulus yang bersemayam di hati sahabatku sendiri. Bagaimana bisa aku tak menyadari bahwa akupun begitu mencintaimu, wahai Athosku yang terkasih.”

Aku tersenyum simpul, ”Mata manusia memang sangat terbatas. Sehingga tidak tahu apa yang akan terjadi bahkan apa yang sedang terjadi. Apa yang ada di hadapan mata dan apa yang jauh dari jangkauan. Hatikupun begitu bodoh untuk memahami yang mana kasih sayang dan yang mana cinta. Aku juga telah begitu tolol karena baru menyadari bahwa cinta itu dekat. Sangat dekat.”jawabku seraya menggenggam erat kedua tangan Brahma.



Zoe’04

Rabu, 03 Maret 2010

TERBATAS

Manusia adalah makhluk yang gemar sekali memberi simbol pada segala sesuatu. Bukan hanya itu keahlian manusia, tapi manusia juga sangat piawai dalam membatasi segala sesuatu. Pembatasan yang dilakukan manusia merambah ke segala segi kehidupan.
Garis yang melengkung di kedua ujungnya disimbolkan sebagai bilangan tak hingga. Padahal semua manusia bahkan para ahli pun tidak tahu berapa tepatnya bilangan itu. Ada tapi tiada, tidak ada tapi eksis. Begitulah gambaran tentang angka misterius ini. Sama halnya dengan angka nol (0). Dikatakan ada, angka ini tidak menunjukkan apa-apa. Dikatakan tidak ada, tapi bilangan ini menjadi titik pusat atau titik awal dari setiap garis bilangan.
Contoh diatas hanyalah sebagian dari penyimbolan dan pembatasan yang dilakukan manusia. Masih banyak lagi penyimbolan bahkan pembatasan yang lain. Bodohnya lagi, penyimbolan dan pembatasan ini juga banyak dilakukan manusia pada Tuhan-sesembahan yang Maha Tinggi.
Manusia menjadikan alam sebagai bukti bagi eksistensi-Nya. Ketahuilah, alam semesta dan segala isinya hanyalah ciptaan-Nya. Alam tidak menunjukkan apa-apa tentang pencipta-Nya. Karena paku yang menancap pada sebuah kursi tidak akan tahu apapun mengenai Sang Tukang pembuat kursi itu. Begitulah layaknya keadaan manusia dalam memahami siapa Tuhannya. Pembicaraan tentang Tuhan dilakukan oleh banyak manusia tanpa tidak membatasi-Nya. Apalagi ketika memperbincangkan tentang sifat-Nya. Manusia sendiri tidak tahu apa yang mereka maksud dengan Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Pengampun, dan Maha-Maha yang lain. Menurut Kamus Bahasa yang juga dibuat manusia, kata maha berarti sangat yang paling sangat, tidak ada bandingan dan tidak ada yang melebihi. Mungkin karena pengetahuan manusia begitu terbatas sehinga manusia selalu membatasi segala permasalahan yang mereka hadapi. Keterbatasan yang sangat sering kita banggakan. Keterbatasan yang sangat sering membuat kita lupa atas keterbatasan itu sendiri. Lupa pada keterbatasan yang ada dalam diri kita sendiri. Sehingga kita menjadi terlalu sibuk membatasi segala yang ada. Dan lupa menjadikan keterbatasan kita sebagai titik awal untuk mawas dan tahu diri.






Zum@yakusa

SALAHKAH

Entah mengapa hari ini aku merasa sendiri. Meski langit begitu penuh bintang dan jalanan masih begitu ramai dengan kendaraan yang lalu lalang. Tapi, aku hanya mendapati diriku kesepian di pinggiran kota. Di kota yang bahkan aku tak tahu dan tak kenal satu pun penghuninya. Semua berbicara dengan bahasa yang sama sekali tak kumengerti. Semua bertingkah seolah aku adalah manusia yang tidak tahu adat. Manusia yang benar-benar tidak tahu bagaimana caranya hidup dengan manusia lain.
Salahkah aku jika aku sama sekali tidak mengerti apa yang mereka maksud? Salahkah jika sedikit saja aku berharap akan kedatangan pahlawan kesiangan yang akan dengan senang hati mendengarku berbicara dengan bahasaku sendiri. Salahkah aku jika aku berharap dengan sangat akan kehadiran sesosok bijaksana yang akan dengan senang hati pula memberiku nasehat dan saran yang aku mengerti dan yang benar-benar dapat aku terima? Salahkah aku jika aku tetap menunggu keturunan Adam yang dapat mengerti posisiku dan dapat dengan bijaksana memberiku pesan yang layak untuk dipertimbangkan? Aku butuh penyelesaian, bukan justifikasi akan ketidakmengertianku. Bukan tuduhan yang sangat memojokkanku. Dan bukan juga kata-kata bernada tinggi yang mengandung makna bahwsanya tidak ada pilihan lain bagiku selain PULANG.
Salahkah aku jika aku ingin tetap tinggal di tempat yang membuatku nyaman? Salahkah aku jika aku ingin tetap bersama manusia yang mengerti bahasaku dan manusia yang berbicara dengan bahasa yang aku mengerti pula?
Di rumah, bagiku semua hanya bisa diam. Tanpa kasih maupun sayang. Apalagi cinta. Pantaskah hal yang sedemikian itu disebut dengan rumah? Menurutku itu hanya bangunan saja. Hanya onggokan puing-puing beton dan batu bata. Tidak bermakna. Tidak pula bernyawa. Begitu juga dengan penghuninya. Mereka, yang katanya adalah manusia-manusia yang mengalir di dalam tubuhnya darah yang sama dengan yang ada di tubuhku, hanya mampu mengumpatku dengan semua tingkah lakuku. Beberapa orang memang sangat pandai menilai bagaimana orang lain harus bertindak dan menjalani hidupnya dan tidak begitu dengan kehidupan mereka sendiri, kata Coelho.
Aku, hanyalah keturunan Hawa yang dengan sekuat tenaga mencari rumah. Mencari tempat yang membuatku nyaman, mencari lingkungan yang dapat memberikanku harapan untuk hidup sebagai manusia. Bukan sebagai makhluk lain yang aku tidak tahu harus diklasifikasikan sebagai apa. Bukankah kata Irshad rumah adalah tempat tinggal martabat bukan hanya tempat nenek moyang berasal? Jika di tempat yang mereka sebut sebagai rumah tidak dapat memberikan tempat bagiku untuk meletakkan martabatku, tidak bolehkah aku meninggalkan bangunan kosong itu dan mencari tempat untuk martabatku sendiri? Tidak bolehkah aku menuju ke tempat dimana aku dengan martabatku mendapatkan sambutan yang sangat lebih dari kata layak?

SAHABAT DAN CINTA

Melihat kesedihan di raut muka kedua orang tua Zarra, aku terenyuh. Tak sampai pada logikaku mengapa dan bagaimana Zarra, seorang gadis periang penuh semangat dan penuh cita-cita kini terbaring tak berdaya di atas seonggok dipan di sebuah ruangan sempit tak bernomor ini. Wajahnya kaku, tanpa senyum yang biasa dia sedekahkan kepada semua orang yang ditemuinya. Menjadi salah seorang pasien di rumah sakit Diponegoro, nampaknya bukanlah keinginan gadis rupawan ini. Keceriaan yang meskipun tak tampak dari ekspresi wajahnya, namun tetap dapat dia pancarkan lewat semangatnya untuk hidup dan tetap melawan penyakit yang sedikit demi sedikit menggerogoti tubuhnya yang elok.
Tata bicaranya yang menyala sama sekali tak mudah dilupakan setiap orang yang pernah bersentuhan dengan kata-katanya. Gaya gerak tubuhnya tak mungkin dapat dihilangkan dari daftar hal-hal paling menakjubkan di dunia. Dan semua yang ada dalam dirinya membuat teman dan kerabat dekatnya merasa tak rela dan tak percaya bahwa gadis yang selalu membuat dunia tersenyum itu, kini sudah tak lagi dapat menaburkan senyum indahnya ke seluruh penjuru bumi.
”Serangan whelan”, kata dokter spesialis kejiwaan dan gangguan saraf yang tengah menangani kasus Zarra. ”serangan ini lebih ganas dari serangan jantung.” lanjutnya lagi.
”Pasien tampak tertidur pulas. Bermimpi, tapi tidak akan kembali. Bukan koma, apalagi gila, tapi menghilangnya raga dan bukan nyawa. Badan tidak lumpuh, hanya saja virus dalam otaknya menyebabkan pikiran tidak ingin bergerak. Virus inilah yang mengakibatkan saraf motorik pasien menjadi lumpuh meskipun tidak terdapat gangguan pada saraf tersebut. Akibat dan serangan dari penyakit jenis ini lebih berbahaya dari skyzofrenia. Dan serangan ini hanya terjadi 12 kali didunia dalam kurun waktu 50 tahun. Langka, dan saya sangat yakin belum ada pengobatan efektif yang dapat dilakukan.” kata dokter bertubuh subur itu menjelaskan.
”Kami sebagai ahli medis bukan menjatuhkan semangat dan harapan anda pada kesembuhan Zarra, tapi kami hanya menyampaikan apa yang kami ketahui. Kami hanya akan menyampaikan fakta. Tapi, ini tidak berarti kita harus menyerah pada penyakit yang diderita Zarra. Kita harus terus berusaha yang terbaik bagi kesembuhan Zarra. Paramedis hanya dapat memeriksa setiap respon pasien terhadap rangsang. Baik panca indra maupun pikirannya. Kita hanya mampu menjaga supaya pasien tidak kehilangan kontak dengan lingkungan selama jantungnya masih berfungsi. Jadi, saya harap dari pihak keluarga dan teman-teman pasien dapat membantu kinerja kami dengan tetap menjalin kontak dengan pasien. Anggap pasien seperti manusia normal pada umumnya. Jangan mengingatkan bahwa pasien tengah tak berdaya. Saya harap bapak dan ibu bisa sabar menanti sadarnya Zarra.” diiringi sebuah senyum kecut, dokter itu meninggalkan ayah dan ibu Zarra dalam kondisi bingung akan penyakit yang dialami putri tunggal mereka.
Aku masih sama sekali tidak mengerti bagaimana penyakit yang mengerikan itu bisa menghampiri tubuh elok Zarra, tubuh yang aku kenal sangat kuat melawan segala serangan penyakit. Setahuku, Zarra adalah manusia paling kebal penyakit. Dia adalah makhluk yang paling jarang sakit jika dibandingkan dengan makhluk-makhluk lain yang aku kenal. Mungkin hanya flu penyakit yang kerap menimbulkan masalah baginya.
Menatap mimik wajah Zarra yang datar, aku merasa kembali ke masa lalu. Ke masa dimana kita kerap melakukan hal-hal gila bersama. Menjadi wartawan budaya hingga di daerah terpencil adalah obsesi terbesar kami sejak SMU. Tri Darma, SMU terkemuka di bilangan Cipete menjadi tempat kami menimba ilmu selama tiga tahun. Disanalah kami bertemu untuk pertama kalinya.
”Hai manis, namaku Zarra. Kamu?” sapanya sambil mengulurkan tangan hendak menjabat tanganku. Tak akan pernah kulupakan senyum indah yang diberikannya untukku ditengah penderitaan kami sebagai siswa baru di SMU itu.
”Rui.” jawabku seraya mengumbar senyum terbaik yang pernah kumiliki. Betapa tidak, dia adalah teman pertamaku di SMU.
Tanpa memerlukan waktu yang lama, kami dapat akrab dengan begitu mudahnya. Kesenangan terhadap jenis musik yang sama menjadikan kita berdua pasangan duo sejati di sekolah. Aku berterima kasih pada Billie Joe (Green day) yang telah mengantarkanku seorang sahabat sejati yang sebelumnya aku kira hanya ada di dongeng-dongeng klasik belaka. Kegilaan kami berdua terhadap musik punk, khususnya Green Day dan Sum 41 membuat kami semakin akur. Bahkan ditengah-tengah masa orientasi kami sebagai siswa baru, kami selalu menjalin manisnya persahabatan.
Meskipun kami saat itu hanyalah dua orang siswa baru, popularitas kami tidak kalah dengan guru paling menjengkelkan di sekolah. Bahkan kami lebih terkenal daripada guru yang menjabat sebagai wakasek kesiswaan dan yang merupakan guru paling ditakuti dan dibenci oleh seantero siswa yang masih waras di sekolah. Kepopuleran kami dikarenakan oleh kebersamaan kami yang selalu kami jaga. Sepaket, itulah komentar setiap teman saat ditanya mengenai kami berdua.
Bukan hanya jenis musik yang kami gandrungi saja yang sama, tapi juga pandangan kami terhadap hidup pun sejalan. Kami tidak akan menyerah pada hidup. Apapun yang terjadi, kami akan membuat nasib kami sendiri. Karena hanya pecundang yang menyerahkan seluruh hidup pada nasib. Dan kami bukanlah pecundang. Paling tidak itulah motto hidup kami. Kami sangat menjunjung tinggi kemerdekaan manusia dalam memilih jalan hidup masing-masing. Tapi yang kami akui sebagai pilihan disini adalah jalan yang dipilih melalui proses tesis, perenungan dan telaah terlebih dahulu. Bukanlah sebuah pilihan jika diambil tanpa ada pertimbangan sebelumnya. Idealisme masa remaja yang indah.
Sering bersama, kami semakin kompak dalam segala hal. Istilah yang kami gunakan untuk menyebut diri kami satu sama lain adalah Partner in Crime. Suka, duka, bahkan marah dan benci serta kecewa kami hadapi berdua. Tak terpisahkan, tak tergantikan. Hingga kami duduk di bangku kuliah, seperti sekarang ini.
Menjadi mahasiswa Sastra Inggris tidaklah sulit kami jalani. Karena inilah impian kami. Bahkan bukan hanya bahasa inggris yang kami kuasai, Jerman, Jepang bahkan bahasa spanyol telah kami babat habis hingga kami duduk di semester 5 kini. Cita-cita kami semasa SMU rupanya telah mendarahdaging dalam jiwa kami. Keinginan yang teramat kuat guna menjadi wartawan budaya hingga di daerah terpencil di seluruh penjuru dunialah yang membuat kami begitu bersemangat dalam mempelajari seluruh bahasa asing dan kebudayaannya.
Tersenyum kecil, aku tersadar dari lamunanku akan masa lalu yang indah saat sedikit demi sedikit wajah Zarra ditutupi kain putih. Beberapa menit yang lalu, perempuan penuh karisma dan semangat hidup itu telah berhenti detak jantungnya, telah berhenti menghirup udara dari hidungnya yang mancung.
Pemakaman kalibata menjadi peraduan terakhir yang telah dipilih kedua orang tua Zarra. Tidak sedikit yang datang menyatakan rasa belasungkawa mereka. Menjadi pribadi yang menyenangkan, itulah yang dilakukan Zarra semasa hidupnya.
Masih lekat di mataku bagaimana sahabat baikku ini meninggalkan pesan yang membuat hatiku semakin hancur. Sebuah kertas bertulis yang hanya dapat dilihat jika kertas itu dicelupkan ke dalam air. Nampaknya dia menulis surat itu dengan tidak sembarangan. Zarra memang merupakan sosok yang penuh dengan kejutan. Penuh dengan hal-hal konyol namun bermakna. Surat itu ia tulis dengan menggunakan semacam bahan bakar. Entah bensin ataukah minyak tanah yang digunakannya. Aku mengetahui cara membaca surat itu lama setelah aku menemukan kertas itu di dalam buku catatanku yang dipinjamnya seminggu sebelum dia terkapar sakit. Sangat original. Ide dalam otaknya seperti tak pernah habis dan masih memiliki banyak stok kedepannya. Kagum yang amat sangat pada Zarra membuatku begitu menyayangi sahabatku itu.
Aku rasa, dalam tidur panjangnya kali ini dia pasti berkata, ”Seru! Seperti cerita detektif di film-film”, sambil mengumbar tawa meskipun aku sama sekali tak melihat secercah senyum dibibirnya. Airmata mengalir deras di pipiku saat kutatap tanah basah, tempat Zarra berbaring dibawahnya. Tak kusangka, waktu tidak berpihak pada manusia yang selalu memberikan inspirasi bagi setiap orang disekelilingnya. Tak pernah kukira bahwa Tuhan begitu menyayanginya, sehingga Dia memanggil Zarra cepat-cepat. Apapun yang terjadi pada Zarra, itu pastilah yang terbaik untuknya.
Membaca kembali kertas itu, hatiku tersayat. “Bagaimana bisa kau berpikir seperi itu, cintaku? Aku, sahabatmu, tidak akan pernah meninggalkanmu. Bukankah aku telah berjanji padamu, bahwa hanya Tuhanlah yang berhak memisahkan kita? Kau ingat itu kan? Aku mencintaimu Zarra, sahabatku yang baik tak terperi. I’ll give you my life to save your, i’ll give you my soul to save your, bahkan akan kukorbankan kehormatanku untuk menyelamatkan kehormatanmu. Jangan pernah ragukan cintaku padamu. Jangan pernah!” ucapku lirih di depan altar pemakaman Zarra, sahabat tercintaku yang akan selalu menempati seluruh ruang jiwaku.



secercah bahagia, seutas senyuman,
seonggok daging tanpa tulanglah yang melakukannya
tanpa kusadari aku menjadi kuat sekaligus lemah saat bersamamu
tanpa kusadari aku menjadi begitu cinta sekaligus benci terhadapmu
cinta pada setiap kelakarmu
benci pada setiap ketulusanmu yang membuatku melayang jauh ke angkasa
selayaknya aku adalah peri istana para dewa

entah mengapa aku merasa ada sesuatu menungguku di luar sana
aku menjadi begitu takut
menjadi begitu ciut, tercekam oleh sesuatu yang menakutkan
tapi aku sama sekali tidak tahu apa itu

aku tak takut pada hidup, apalagi pada mati
aku hanya takut pada satu hal, wahai sahabat tercintaku
KEHILANGANMU.....
Zarra madya pratama


Semakin meledak tangisku ketika kubaca nama penulis di akhir surat yang tengah berada dalam genggamanku itu. Duniaku menjadi begitu indah karena hadirnya seorang sahabat penuh cinta dan cita. Hari-hariku berwarna karena kehadiran sesosok pelangi persahabatan yang didambakan seluruh umat manusia. Sahabat. Sungguh berat menjadi seorang sahabat sejati. Tapi, kau melakukannya tanpa cela. Kau memenuhi setiap kualifikasinya dengan sangat sempurna. Zarra....beristirahatlah dengan segenap cinta. Aku akan melanjutkan mimpi-mimpi kita. Mengelilingi dunia, menjelajah budaya dan berbagi cinta sebanyak mungkin kepada setiap orang yang kujumpa. Beristirahatlah, wahai sahabat yang kucintai. Semoga setiap anak Adam memiliki sahabat sepertimu. Agar mereka tahu bahwa cinta itu hakiki. Bahwa cinta itu suci dan bahwa cinta itu indah tak tertandingi. Selamat tinggal Zarra............



Zoe ’04

CATATAN PENULIS JALANAN

Tanpa meragu kuguratkan penaku di atas secarik kertas. Kertas yang baru saja kubeli dari pasar loak. Kusam, setengah terpakai dan yang pasti murahan. Tinta hitamku menari dengan indah, berlenggak-lenggok lincah. Dengan segera kertas putih itu penuh dengan ide yang ada dalam benakku. Dalam ruangan yang sempit, sesak, hingga hanya untuk merentangkan tangan dan kakiku saja sudah membuatnya penuh ini, aku menguak segala yang terjadi di sekitarku dan menuangkannya di kertas kusam dan terbuang ini. Tak sadar, waktu seharian penuh telah kuhabiskan di depan meja belajarku yang mungkin sebentar lagi akan rubuh karena sebagian kayunya telah dimakan rayap.
“Panca, sedang apa kau? Mengapa kau tak keluar kamar sedari tadi? Apakah kau sakit?” berondong tanya terlontar dari bibir ibuku tersayang seraya berjalan mendekatiku.
“Anakmu ini sedang belajar menjadi seorang penulis, ibu. Sedari tadi aku mencoba menulis segala yang kuketahui tentang hidup dan segala yang terjadi disekitarku, bu. Aku berusaha menuangkan semua ideku di atas kertas ini, bu.” jawabku dengan berbangga hati.
“Penulis? Apa yang akan kau harapkan dengan menjadi seorang penulis?” Lanjut ibuku dengan nada sedikit tinggi. “Apa ini? Catatan penulis jalanan?” terdiam sejenak, ibuku menatap tulisanku lekat,”Isi tulisanmu ini terlalu mencolok anakku. Ini terlalu benar untuk diungkapkan. Adakalanya kita lebih baik menghindari masalah dengan tidak mencampuri masalah orang lain. Dan adakalanya kita lebih baik menutupi kebenaran meski hanya untuk menghindari masalah. Kebenaran tidak selalu harus diungkapkan anakku.”
“Tapi bu, bukankah ibu selalu mengajarkan kepadaku untuk selalu berkata benar meski nyawa sebagai taruhannya? Bukankah di sekolah aku selalu diajarkan untuk berani mengungkapkan kebenaran meski hukuman yang akan aku dapatkan nantinya? Bukankah di kampus aku selalu ditekankan akan nilai-nilai kejujuran?” sahutku lagi.
”Bukankah ibu pernah memberiku petuah bahwa kebenaran bukan hanya harus dipertanyakan, diserukan, dan diperbincangkan. Melainkan kebenaran itu harus diperjuangkan. Sudahkah engkau lupa akan wejanganmu itu, wahai ibu?” lanjutku dengan menatap mata ibuku lekat-lekat.
“Tentu saja ibumu ini masih ingat anakku. Tapi, ini kasusnya berbeda. Kejujuran dalam hal apa dulu. Walaupun kujelaskan, kau pasti akan menyangkalnya lagi. Ini bukan dunia yang kau kira, anakku. Dunia yang kau huni sekarang ini adalah dunia yang penuh dengan kebusukan. Tindakan bukan lagi mencerminkan jati diri, tapi lebih merupakan kamuflase dan omong kosong penuh mimpi. Kebenaran pun menjadi semakin kabur dan menjadi semakin tidak jelas. Bagaimana kau akan memperjuangkan sesuatu yang eksistensi dan jati dirinya pun tidaklah jelas adanya?” tandas ibuku seraya mengelus kepalaku dengan lembut.
“Apa yang berbeda, ibu? Tidak bisakah kita memandang kejujuran sebagai sesuatu yang universal dan bukan merupakan sesuatu yang partikular, bu? Memang ada berapa macam kejujuran, bu? Jika memang kejujuran adalah sesuatu yang partikular, maka bukankah itu berarti bahwa kebenaran juga bukan merupakan sesuatu yang universal? Lalu, jika begitu berat dan susahnya seseorang mendefinisikan kebenaran, apakah itu tidak berarti bahwa semua insan yang jauh dari kebenaran tidaklah dapat dipersalahkan? Sedangkan seperti yang sama-sama telah kita ketahui bersama bahwa setiap orang sejatinya telah memiliki kemampuan inderawi untuk memilih dan memilah mana yang benar dan mana yang salah? Apakah semua argumenku ini salah adanya, bu?” tanyaku tak terima.
“Kau masih terlalu lugu untuk menatap dunia yang sesungguhnya, anakku. Dunia ini tidak membutuhkan kejujuranmu. Dunia tidak peduli seberapa jujur dirimu. Dunia tidak mau tahu bilamana kau berkata jujur atau berdusta. Dunia yang kini berada di depan matamu adalah dunia yang bahkan lebih menghargai kedustaan dan kenistaan. Para penghuninya lebih menjunjung tinggi kebusukan dalam menjalani hidup.”sambung ibuku lagi.
Dengan penuh kekecewaan, aku menyela pernyataan beliau,“Jadi, untuk apa ada sistem hukum dan peradilan di dunia ini? Jika kejujuran saja menjadi begitu tidak berarti di hadapan kekuasaan. Untuk apa ada jajaran penegak hukum jika kejujuran hanya akan menjadi penyakit dalam masyarakat, dan kebenaran hanya akan menjadi pemanis bibir belaka,bu?”
“Sekali lagi, anakku. Kau terlalu lugu untuk mengerti betapa biadabnya dunia di luar sana. Kau terlalu polos untuk mengetahui betapa buruk rupa dunia dibalik kemilau indah yang dipancarkannya. Jangan memandang dunia dengan hanya mengandalkan kacamata kuda, anakku. Lihatlah dunia ini dengan matamu yang telah terasah dengan pengalaman hidup. Bukalah matamu lebar-lebar. Adakalanya kau harus memugar semua idealisme yang telah bertahun-tahun kau bentuk. Adakalanya kau harus membuang jauh keinginanmu untuk berkata jujur, jika sang penguasa tidak menginginkan kau untuk berkata jujur.”terang ibuku panjang lebar.
Aku kehabisan kata-kata untuk menyangkal kata-kata beliau. Aku hanya bisa menunduk dan menyesali nasibku. Nasib yang telah menempatkan aku di dunia yang sangat tidak aku mengerti ini. Setelah ibu meninggalkanku, aku tepekur menimbang-nimbang apa yang telah kudengar dari bibir beliau. Aku hanya bisa menatap kertas dihadapanku yang kini telah penuh tulisan itu. Kubaca dan kubaca berulang-ulang.


Catatan Penulis Jalanan


 Palu mengutuk setiap ucapanku, memaku mati setiap jonjot lidahku. Kata menjadi mati di kaki penguasa. Makna telah hancur di tangan para pembantai sastra. Pembunuhan karya dilakukan di udara yang katanya bebas merdeka. Upacara kremasi terhadap ide dilaksanakan atas nama konstitusi. Karena bagi mereka, konstitusi hanyalah alat pemusnah kebenaran. Bahkan hanya untuk menulis pun, semua sastrawan harus dihunjam berbagai macam peraturan yang sangat tidak relevan. Mereka lupa bahwa revolusi adalah ibu dari konstitusi. Mereka lupa bahwa kekuatan revolusi akan menghancurkan tiap jengkal konstitusi rekayasa yang telah mereka buat. Mereka lupa bahwa aku, kamu, dan seluruh rakyat dapat menciptakan kekuatan revolusi yang bahkan tidak akan dapat mereka bayangkan dahsyatnya. Dan mereka lupa bahwa betapapun mereka mengubur semua ide pergerakan, tidak akan dapat menyurutkan langkah pembaharuan yang akan menderu dan membabat habis segala penyimpangan yang mereka lakukan dengan sangat gamblang dan nyaris tampak tanpa dosa.
Di dunia ini, menjadi salah sangatlah susah. Tapi menjadi yang benar akan jauh lebih susah. Untuk memilih pemimpin, aku harus mencari yang terbaik. Tapi, yang terjadi sekarang ini sangatlah jauh berbeda. Diantara para calon yang akan menempati kursi kehormatan, tidak ada satupun yang pantas untuk dihormati. Tidak satupun dari mereka yang pantas untuk dipercaya. Apakah aku harus memilih yang paling buruk diantara para calon yang buruk itu?
Ya Tuhanku, aku tidak ingin menjadi penulis yang baik, hebat ataupun terkenal. Aku hanya ingin menjadi penulis yang benar. Penulis yang selalu berani untuk mengungkapkan apa yang tengah terjadi di hadapan dan di depan mataku. Penulis yang tak segan memberikan kutukan kepada para penjagal kemanusiaan. Penulis yang senantiasa berkata jujur dalam setiap kata yang diucapkannya. Apakah hal ini terlalu muluk untuk kuminta? Apakah permohonanku ini terlalu tinggi untuk kujangkau? Apakah do’aku ini terlalu susah untuk diwujudkan? Aku tahu Ya Tuhan, tidak ada kata susah jika berada di tanganMu. Maka itu ya Tuhan, kabulkanlah permohonanku.
By: Panca Bawana



Sepertinya, apa yang dikatakan ibuku itu benar adanya. Tapi, otakku masih terlalu bebal untuk mengerti. Sebenarnya aku tidak ingin mengerti hal itu. Akupun bergumam dalam hati,” Ibu, maafkan anakmu ini yang dengan senang hati akan selalu menentang apa yang engkau katakan tadi. Aku tidak ingin menjadi manusia yang lupa pada makna kejujuran, bu. Aku tidak ingin menjadi manusia yang terkurung oleh kemunafikan. Aku tidak ingin dan tidak akan membiarkan kebenaran hancur begitu saja. Aku tidak akan pernah mengijinkan kebenaran menjadi sampah yang terlupakan. Bahkan aku tidak ingin hidup di dunia yang engkau jelaskan padaku itu. Aku akan membangun sendiri duniaku. Dimana seseorang tidak perlu bersusah payah mencari alasan untuk menutupi kebohongan. Dimana kejujuran menjadi simbol peradaban. Aku tidak mau larut dalam peradaban dunia yang engkau ceritakan padaku itu, ibu. Karena peradaban yang telah engkau ceritakan padaku itu hanyalah peradaban yang membawa manusia bersama bumi yang ditempatinya datang mendekati jurang kenistaan yang berpalung dalam dan tak berujung pangkal. Setiap teriakan akan terdengar sangat nyaring disana. Tapi manusia telah menjadi begitu tuli semasa hidupnya. Setiap tangisan akan terlihat sangat jelas meskipun tanpa cahaya setitikpun disana. Tapi, manusia telah membiasakan matanya dengan kebutaan abadi yang tak akan tersembuhkan oleh suatu apapun. Setiap rintihan akan sangat berati disana, tapi manusia terlanjur terbiasa dengan kebisuan sejati yang menegasikan semua kemurnian kata. Aku akan membangun peradaban lain yang lebih mulia, ibu. Aku akan terus menerus berusaha membangun dunia dengan peradaban itu, bu. Semahal apapun aku harus membayarnya, aku akan tetap memperjuangkan apa yang aku yakini.”
Kulipat kembali kertas bertulis itu. Kusimpan aman di laci meja belajarku yang reyot. Dan akan kujaga sampai nanti suatu saat aku harus menentang dunia karenanya.


By: Zoe ‘04

MENJELANG TAKDIR

Lorong yang sepi itu mendadak ramai. Penuh sesak oleh suara tak kasap mata. Peluh yang menetes di tataran langit wajahku menyentak ragaku untuk terjaga. Aku tersudut di pojok gelap sebuah ruang kuliah bilangan Surabaya. Terderaknya suara kursi membuat bulu kudukku merinding.
Tak kusangka aku terkunci di ruang itu bersama seorang lelaki muda sekitar 20 tahun umurnya. Tanpa merasa curiga aku memulai pembicaraan yang kemudian memecah keramaian yang kudengar sayup.
“Dunia ini tak adil! Mengapa kita bisa terkunci disini? Padahal aku sudah meminta temanku untuk membangunkanku jikalau aku tertidur. Eh……ternyata aku malah terbangun di tempat sumpek ini.” keluhku pada pemuda yang wajahnya asing di ingatanku itu.
“Dunia memang tak pernah adil pada penghuninya. Semua orang, bagaimanapun ia pasti pernah mengalami ketidakadilan. Bukan sekali atau dua kali. Bahkan berkali-kali. Atau lebih parah lagi selalu dan tidak hentinya mengalami ketidakadilan.” tandas lelaki yang tidak bisa dikatakan jelek itu.
“Jiya.” sapaku seraya mengulurkan kedua tanganku berharap disambut pula oleh tangannya yang lebih sering berada di dalam saku jaketnya yang sedikit lusuh.
Tanpa menyambut tanganku yang terulur ikhlas, “Arya” jawabnya singkat dengan mimik datar.
“Tampaknya kau begitu pesimis terhadap dunia. Apakah kau sering mengalami ketidakadilan dalam hidup?” Lanjutku pelan.
“Bukan hanya sering tapi aku sudah kenyang akan ketidakadilan. Menjalani hidup, bagiku seperti berjalan di atas batu bara yang sangat lama padamnya. Sakit, terlunta, tapi harus kulalui agar aku dapat sampai di seberang.”jawabnya dengan penuh kekecewaan.
Lelaki ini berbeda. Kataku dalam hati. Jarang aku menemukan lelaki yang menghadirkan pertanyaan penuh pada perjumpaan pertama. Semakin penasaran, aku pun melanjutkan perbincanganku tentang hidup dengannya.
“Kalau menurutku tidak ada kata tidak adil dalam hidup. Karena kita hanya tinggal menjalani saja apa yang sudah menjadi jalan pilihan kita. Semua yang kita alami hanyalah imbas dari pilihan kita. Kalaupun ketidakadilan yang kita alami, itu pasti karena kita telah mengambil pilihan yang salah dalam kehidupan. Jadi kurang etis rasanya jika kita mempersalahkan kehidupan dalam hal ini. Tidak ada yang salah dengan hidup. Manusialah yang salah. Manusialah yang tidak adil, sehingga hidup menjadi tidak adil pula bagi manusia.” jelasku panjang lebar.
“Memang tidak ada yang salah dengan kehidupan. Tapi, bukankah manusia adalah salah satu himpunan bagian dari kehidupan? Lalu jika aku tidak menyalahkan kehidupan, kemudian siapa yang salah disini. TUHAN? Tidak mungkin Tuhan yang salah disini, bukan? Semua kemunafikan adalah ciptaanNya. Semua kelicikan adalah salah satu buah karyaNya. Dan satu hal lagi manusia yang penuh dengan sifat biadab dan tak beradab pun adalah hasil kreasiNya.” timpalnya yang sangat membuatku tersentak. ”Pilihan. Memang satu kata inilah yang membedakan manusia dengan makhluk Tuhan yang lainnya. Manusia merupakan makhluk Tuhan yang selalu dihadapkan pada pilihan. Aku sama sekali tak memungkiri hal ini. Tapi, untuk menjadi manusia bijak yang dapat memilih dan memilah mana jalan yang benar, harus memiliki ilmu tentang hal-hal ideal atau keniscayaan universal terlebih dahulu. Karena pilihan yang bijak hanya dapat diambil jika seseorang telah melakukan sintesa antara ilmu dan kehendak. Bukankah hal ini merupakan suatu hal yang kontradiktif ketika manusia diberi kesempatan untuk memilih jalan hidupnya, namun tetap berada pada suatu koridor atau tetap berdasarkan suatu keniscayaan universal.” lanjutnya lagi.
“Sebenarnya apa yang telah menimpamu?” tanyaku dengan suara bergetar sedikit takut jikalau pertanyaanku ini akan menyinggung hatinya. ”Mengapa kau tampak begitu tidak bersahabat dengan hidup?”
“Tidak ada yang menimpaku. Karena aku memang tak pantas ditimpa bahkan oleh musibah sekalipun.”tandasnya misterius.
Dengan tatapan penuh rasa bingung sekaligus penasaran yang amat dalam, aku memandanginya dengan seksama. “Kamu angkatan berapa?”tanyaku mengalihkan pembicaraan.
Tanpa basa-basi Aryapun menjawab,”1997.” Dengan senyuman tersimpul dikedua ujung bibirnya menandakan dia adalah orang yang ramah.
“Bagaimana mungkin! Aku angkatan 2000. Tapi, sepertinya aku jarang bahkan tak pernah melihat wajahmu muncul di setiap mata kuliah yang kuikuti.”sambungku tak percaya.
“Menjadi orang yang tak dikenal, bukanlah masalah bagiku. Bahkan sebisa mungkin aku menjauh dari keramaian. Karena keramaianlah yang menciptakan peradaban yang biadab seperti sekarang ini.”ucapnya seraya menata badannya tepat disampingku.
Tak kuasa menahan tanya dalam hati, aku kembali menanyakan perihal apa yang telah menimpa pemuda berhidung mancung sempurna itu. Dengan tetap memegang teguh pendiriannya untuk tidak berbagi rahasia denganku, Arya hanya tersenyum sambil melepaskan jaketnya dan menyerahkan kepadaku.“Pakai ini! Kau pasti sangat kedinginan disini. Aku tahu kau memiliki asma akut yang tidak memungkinkanmu menahan dinginnya angin malam. Apalagi di dalam ruang kelas yang lembab dan pengap seperti ini.”
Dengan sedikit kaget, aku menurut juga pada apa yang dikatakannya. Sebenarnya apa yang membuat pemuda lembut ini begitu marah pada kehidupan. Apa yang telah membuat pemuda yang begitu penuh senyum ini menjadi manusia yang enggan menyunggingkan tawa di tengah keramaian. Pertanyaan demi pertanyaan terlintas di benakku. Sesungguhnya manusia macam apa yang sedang aku hadapi ini. Begitu misterius. Begitu penuh kasih. Bahkan begitu penuh petuah yang layak untuk dipikirkan oleh setiap makhluk yang hidup di dalam hidup.
Seperti dapat mendengarkan isi hatiku, pemuda tampan itupun menjawab ringan, “Unreasonable. Mungkin, begitulah teman-teman menilaiku. Karena menurutku, tidak semua tindakan yang kita lakukan harus memiliki alasan. Alasan yang aku maksud disini adalah alasan tanpa adanya rasionalitas dan sinkronisasi dengan hati. Terkadang kita sebagai manusia cenderung lebih mendengarkan akal daripada hati. Padahal, seorang manusia hanya dapat disebut sebagai manusia jika akal dan hati dapat digunakan secara optimal. Setiap tingkah laku merupakan refleksi diri yang berfungsi untuk menunjukkan eksistensi kita. Sudah lama aku menjadikan unreasonable menjadi tolak ukur ketulusan. Karena sering sekali manusia terjebak oleh alasan. Semua orang yang melakukan suatu tindakan atas dasar alasan menurutku tidak tulus. Aku melihat apa yang mereka lakukan itu hanyalah ambisi sesaat atau bahkan nafsu menjerat yang tidak layak untuk hidup di otak dan hati kita.” jelasnya panjang, lebar dan tinggi seraya menyunggingkan sesimpul senyum kearahku.
“Termasuk……CINTA?” tanyaku sedikit malu-malu karena rupanya aku mulai terkesima dan admire terhadap sosok penyimpan beribu misteri itu.
“Apalagi cinta. Seorang pecinta sejati tidak menjadikan alasan sebagai dasar utama untuk mencintai. Aku benci terhadap manusia penghamba fisik. Alasan hanya akan mengurangi ketulusan kita dalam mencintai seseorang. Jadi, jika kau mendapati seseorang mengatakan bahwa dia mencintaimu. Tanyakanlah mengapa dia mencintaimu dan apa yang dia cintai darimu. Percayalah, orang yang tidak mengetahui apa alasan dia mencintaimu dan apa yang dicintainya darimu, dialah manusia tulus yang kau impikan. Karena cinta itu adalah, bukan karena.” tegasnya mantap.
Mendengar penjelasan itu, aku semakin tertarik pada Arya, mahasiswa yang umurnya hanya terpaut tiga tahun dariku itu. Sosok yang berada di hadapanku ini bukanlah sosok lelaki yang biasa aku jumpai di kampus sehari-hari. Dia adalah pribadi menyenangkan yang meskipun baru beberapa jam yang lalu aku mengenalnya, tapi aku merasa dia adalah sosok yang berbeda. This is the right man. Gumamku dalam hati tanpa mengucapkannnya.
Menjadi begitu lelah, bibirku pun tak kuat lagi menahan untuk tidak menguap. Mataku sudah berair. Tapi, aku tetap saja tidak rela melepaskan kesempatan untuk memandangi sosok yang telah begitu kukagumi itu.
“Sudah. Tidur sana! Kau tampak sangat mengantuk. Jangan memaksakan apa yang tak dapat kau lakukan. Itu hanya akan menjadikanmu manusia yang tidak memahami kemampuan dirimu sendiri. Satu pesanku padamu bahwa apapun yang kau lakukan harus sesuai dengan hati nuranimu. Jangan pernah menjadi seorang mahasiswi yang hanya mampu didikte dalam mengambil keputusan. Jangan hanya mampu berkata iya. Belajarlah untuk berkata tidak. Berusahalah untuk tetap menjaga idealismemu meskipun kau akan mati jika kau mempertahankannya. Idealisme adalah identitas dirimu. Jika kau tidak mampu menjaga itu, bagaimana kau akan menjaga dunia ini?” ucapnya dengan tatapan serius penuh makna.
Tanpa berkata-kata lagi, dia meletakkan kepalaku di pundaknya yang hangat penuh perlindungan. Dalam waktu beberapa detik saja aku telah mengambil tiket mimpi dan terbang kesana dengan senang hati. Dadaku yang berdegup kencang tak kupedulikan karena aku terlalu mengantuk untuk menyadari bahwa aku tidur di pelukan seorang lelaki untuk pertama kalinya.
Keesokan paginya, aku terbangun oleh suara sumbang Pak Samsul, penjaga kebersihan di jurusanku. Dengan sedikit malu akupun nyelonong pergi. Sehari tidak mandi ternyata tidak enak juga. Badanku terasa berat. Dan sama sekali tidak siap untuk menerima pelajaran apapun. Jadi kuputuskan untuk tidak masuk kuliah hari ini.
Menyadari tentang ketiadaan Arya, aku kembali ke kampus setelah sempat mandi dan makan makanan yang kubeli di warung dekat tempat tinggalku. Kudatangi Pak Samsul dengan seribu pertanyaan yang siap kuberondongkan padanya.
“Pak, lihat Arya tidak? Itu…. mahasiswa angkatan 1997. Yang putih, tinggi, hidung mancung, yang semalam bersama saya terkunci di dalam kelas. Ah….masak iya Pak Samsul tidak tahu Arya. Bukankah Pak Samsul selalu hafal dengan semua mahasiswa yang kuliah disini.”jelasku tanpa memberi kesempatan Pak Samsul untuk menjawab.
“Aduh neng. Arya siapa atuh? Saya gak tahu. Lagipula waktu saya membangunkan eneng tadi, iye teh gak ada siapa-siapa neng. Sumpah neng. Bapak gak tahu. Eneng salah kali.”terang Pak Samsul tanpa berniat untuk membohongiku.
“Enggak pak, saya tidak mungkin salah. Saya bersama Arya semalam. Pak Samsul ini bagaimana? Kalau tidak tahu, jangan bilang saya salah segala donk….” tukasku tak terima.
“Tunggu dulu. Arya…..1997…..Sepertinya saya tidak asing dengan nama itu. Arya…..Oh….saya ingat sekarang……”sambung Pak Samsul berusaha mengingat-ingat.
Akupun bernapas lega. Karena aku akan segera mendapat kabar tentang lelaki yang telah membuatku kagum itu.
“Den Arya Utara. Yang punya tahi lalat kecil di pinggir hidungnya, yang rambutnya lurus belah pinggir, yang di atas bibirnya ada bekas luka sayatan, yang…..”
Tanpa memberi kesempatan pada Pak Samsul untuk melanjutkan ucapannya, aku mengangguk dengan semangat dan berteriak mengiyakan semua kata-kata Pak Samsul.
“….yang sudah meninggal 5 tahun yang lalu itu neng.” Lanjut Pak Samsul yang segera membuatku terkejut tak percaya pada apa yang kudengar.
“Di jurusan ini hanya ada satu Arya neng, itupun sudah meninggal 5 tahun lalu di Jakarta. Itu loh neng…. waktu Pak Harto turun tahta. Tapi, namanya tidak dikenal meskipun dia ikut demo ke Jakarta bersama beberapa teman seperjuangannya yang lain. Dan kejadian itulah yang kemudian mengakhiri hidupnya.”jelas Pak Samsul dengan ekspresi yang tidak menandakan adanya kebohongan di setiap kata-katanya.
Tidak percaya pada apa yang dikatakan oleh orang yang disepuhkan di jurusanku itu, aku terdiam sejenak. ”Tapi, untuk apa Pak Samsul membohongiku? Apa keuntungan yang diperolehnya dari membohongiku?” seruku dalam hati sambil menatap lekat Pak Samsul yang sudah hidup lama di jurusanku. Bahkan lebih lama daripada kajurku sendiri.
“Lalu, apa ada keluarganya yang masih tinggal di Surabaya Pak? Kalau ada, saya minta alamatnya Pak.” tanyaku lagi sambil mengeluarkan kertas dan pulpen yang begitu saja ada di saku jaket Arya yang semalam dan masih kupakai. Mencatat alamat dan nama orang tua Arya, aku segera mengarahkan motorku ke alamat yang dimaksud.
Di bilangan Kedung Tarukan Lama, aku menghentikan motorku di depan sebuah rumah sangat sederhana bercat hijau muda. Segera saja seorang wanita paruh baya yang mengaku sebagai ibu kandung Arya mempersilakan aku untuk masuk dan duduk di atas sofa bambu.
“Ini foto Arya waktu baru saja masuk di bangku kuliah. Dan ternyata ini adalah foto terakhir yang ditinggalkannya untuk kami.” keluh ibu itu sambil menyodorkan sebuah foto berbingkai kayu dan selanjutnya menangis tersedu-sedu.
Betapa kagetnya aku melihat sosok di foto itu persis sama dengan wajah Arya yang kutemui semalam. Tak percaya, aku memandangi foto itu dengan seksama. Setelah kuceritakan apa yang menimpaku semalam, ibu itu memelukku seraya berkata,”Nak maafkan Arya, jika dia telah mengganggumu. Ibu juga tidak tahu ada apa dengan Arya di alam sana. Dia sering sekali nampak nyata di hadapan beberapa temannya bahkan di hadapan orang yang tidak dikenalnya, seperti kamu. Semoga Allah selalu melimpahkan rahmat-Nya untuk Arya.”
Sesudah aku berpamitan pada sang ibu, aku pun pergi meninggalkan rumah itu dan meninggalkan kenangan Arya untuk selamanya. Mungkin inilah yang dia namakan mati dengan membawa idealisme bersamanya. Membawa apa yang dia percayai dan ia perjuangkan. Tapi, satu hal bahwa aku tidak akan melupakan semua yang dikatakannya pada malam itu. Setiap penggal huruf yang diucapkannya mengajarkanku untuk tetap menjalani hidup bagaimanapun hidup berlaku padaku. Malam itu adalah malam penghargaan bagiku. Karena aku dapat berjumpa dengan sesosok manusia yang sangat teguh menjaga idealisme, jati diri bahkan eksistensinya di dunia. Dan jaket ini akan terus kusimpan sebagai pertanda bahwa aku pernah belajar tentang hidup pada seseorang yang telah mati. Akhir kata, selamat datang hidup dan selamat datang pula mati.






Oleh: Zoe ‘04

Selasa, 02 Maret 2010

program MATLAB JST II

LISTING PROGRAM
MRI

clear;
clc;
disp (['MADALINE']);
disp (['***MRI***']);
b=zeros (1,3);
b1=zeros (1,3);
alpha=input(['Masukkan learning rate (0,1]:']);
for i=1:2
v(i)=0.5;
for j=1:2
w(j,i)=input(strcat(['Masukkan bobot ke-'],[''],num2str(j),[' hidden ke-'],[''],num2str(i),[':']));
end
b(i)=input(strcat(['Masukkan bias ke hidden-'],[''],num2str(i), [':']));
end
b(3)=0.5;
b1(3)=0.5;
disp (['1.AND']);
disp (['2.NAND']);
disp (['3.OR']);
disp (['4.NOR']);
disp (['5.XOR']);
jawab=input('masukkan operator logika (1 - 5):');
w1=zeros (2,2);
a= w-w1;
a~=(zeros (2,2));
m=1;
while a~=(zeros (2,2))
for i=1:2
A(i)=input(strcat(['masukkan input ke-'],[''], num2str(i), [':']));
end
disp (strcat(['input anda adalah:'],['['],[''],num2str(A),[']']));
if jawab == 1
for i=1:2
j=0;
if A(i)==-1
k=j+1;
j=k;
break
else
j=0;
end
end
if j==0
t=1;
else
t=-1;
end
elseif jawab == 2
for i=1:2
j=0;
if A(i)==-1
j=0;
break
else
k=j+1;
j=k;
end
end
if j==0
t=1;
else
t=-1;
end
elseif jawab == 3
for i=1:2
j=0;
if A(i)==1
k=j+1;
j=k;
break
else
j=0;
end
end
if j==0
t=-1;
else
t=1;
end
elseif jawab == 4
for i=1:2
j=0;
if A(i)==1
j=0;
break
else
k=j+1;
j=k;
end
end
if j==0
t=-1;
else
t=1;
end
elseif jawab == 5
if A(1)==A(2)
t=-1;
else
t=1;
end
end
disp(['target (t)=',num2str(t)]);
S=[A t];
disp(['input dan target=',num2str(S)]);
for i=1:2
z_in(i)=b(i)+(A*w(:,i));
if z_in(i) >= 0
z(i)=1;
else
z(i)=-1;
end
end
y_in=b(3)+(z*v');
if y_in >= 0
y=1;
else
y=-1;
end
if t==y
w1=w;
break
else
if t==1
if abs(z_in(1)) b1(1)=b(1)+(alpha*(1-z_in(1)));
w1(:,1)=w(:,1)+((alpha*(1-z_in(1)))*A');
w1(:,2)=w(:,2);
b(1)=b1(1);
elseif abs(z_in(1))> abs(z_in(2))
b1(2)=b(2)+(alpha*(1-z_in(2)));
w1(:,2)=w(:,2)+((alpha*(1-z_in(2)))*A');
w1(:,1)=w(:,1);
b(2)=b1(2);
end
w=w1;
elseif t==-1
for i=1:2
if z_in(i)>=0
b1(i)=b(i)+(alpha*(-1-z_in(i)));
w1(:,i)=w(:,i)+((alpha*(-1-z_in(i)))*A');
b(i)=b1(i);
else
b=b1;
w=w1;
break
end
end
w=w1;
end
end
disp (strcat(['Jadi, bobot untuk iterasi ke-'],[''],num2str(m),[' adalah:']));
w


disp (strcat(['Jadi, bias untuk iterasi ke-'],[''],num2str(m),[' adalah:']));
b
m1=m+1;
m=m1;
end
disp (['Jadi, bobotnya adalah:']);
w
disp (['Jadi, biasnya adalah:']);
b


HASIL SETELAH RUNNING

MADALINE
***MRI***
Masukkan learning rate (0,1]:0.5
Masukkan bobot ke-1 hidden ke-1:0.05
Masukkan bobot ke-2 hidden ke-1:0.2
Masukkan bias ke hidden-1:0.3
Masukkan bobot ke-1 hidden ke-2:0.1
Masukkan bobot ke-2 hidden ke-2:0.2
Masukkan bias ke hidden-2:0.15
1.AND
2.NAND
3.OR
4.NOR
4.XOR
masukkan operator logika (1 - 5):5
masukkan input ke-1:1
masukkan input ke-2:1
input anda adalah:[1 1]
target (t)=-1
input dan target=1 1 -1
Jadi, bobot untuk iterasi ke-1 adalah:
w =
-0.7250 -0.6250
-0.5750 -0.5250
Jadi, bias untuk iterasi ke-1 adalah:
b =
-0.4750 -0.5750 0.5000
masukkan input ke-1:1
masukkan input ke-2:-1
input anda adalah:[1 -1]
target (t)=1
input dan target=1 -1 1
Jadi, bobot untuk iterasi ke-2 adalah:
w =
0.0875 -0.6250
-1.3875 -0.5250
Jadi, bias untuk iterasi ke-2 adalah:
b =
0.3375 -0.5750 0.5000
masukkan input ke-1:-1
masukkan input ke-2:1
input anda adalah:[-1 1]
target (t)=1
input dan target=-1 1 1
Jadi, bobot untuk iterasi ke-3 adalah:
w =
0.0875 -1.3625
-1.3875 0.2125
Jadi, bias untuk iterasi ke-3 adalah:
b =
0.3375 0.1625 0.5000
masukkan input ke-1:-1
masukkan input ke-2:-1
input anda adalah:[-1 -1]
target (t)=-1
input dan target=-1 -1 -1
Jadi, bobot untuk iterasi ke-4 adalah:
w =
1.4063 -0.2063
-0.0688 1.3688
Jadi, bias untuk iterasi ke-4 adalah:
b =
-0.9812 -0.9938 0.5000
masukkan input ke-1:1
masukkan input ke-2:1
input anda adalah:[1 1]
target (t)=-1
input dan target=1 1 -1
Jadi, bobot untuk iterasi ke-5 adalah:
w =
0.7281 -0.7906
-0.7469 0.7844
Jadi, bias untuk iterasi ke-5 adalah:
b =
-1.6594 -1.5781 0.5000
masukkan input ke-1:1
masukkan input ke-2:-1
input anda adalah:[1 -1]
target (t)=1
input dan target=1 -1 1
Jadi, bobot untuk iterasi ke-6 adalah:
w =
1.3203 -0.7906
-1.3391 0.7844
Jadi, bias untuk iterasi ke-6 adalah:
b =
-1.0672 -1.5781 0.5000
masukkan input ke-1:-1
masukkan input ke-2:1
input anda adalah:[-1 1]
target (t)=1
input dan target=-1 1 1
Jadi, bobot untuk iterasi ke-7 adalah:
w =
1.3203 -1.2922
-1.3391 1.2859
Jadi, bias untuk iterasi ke-7 adalah:
b =
-1.0672 -1.0766 0.5000
masukkan input ke-1:-1
masukkan input ke-2:-1
input anda adalah:[-1 -1]
target (t)=-1
input dan target=-1 -1 -1
Jadi, bobotnya adalah:
w =
1.3203 -1.2922
-1.3391 1.2859
Jadi, biasnya adalah:
b =
-1.0672 -1.0766 0.5000
>>